HUKUM PIDANA (Kesalahan)
HUKUM PIDANA
a.
Kesalahan
Pengertian
Kesalahan
dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban pidana dimana di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya
si pembuat atas perbuatannya.
Tentang kesalahan ini Bambang Poernomo
menyebutkan bahwa :
Kesalahan itu mengandung segi psikologis dan
segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang
harus ada terlebih, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang
melakukan perbuatan itu sendiri dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya
itu dengan apa yang telah diperbuat.[1]
Kesalahan
sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang di
pertanggungjawabkan secara pidana dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan kesalahan dalam
bentuk kealpaan (culpa).
Kasengajaan
Ilmu hukum pidana membedakan tiga macam bentuk kesengajaan,
yaitu :
1. Kesengajaan
sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk)
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan
menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki
untuk tidak berbuat / melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan tahu
juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana
materiil). [2]
2. Kesengajaan
sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesadaran seseorang terhadap
suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh
dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang
disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu dilakukan juga maka
disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.
[3]
3. Kesengajaan
sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan
dolus eventualis
Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk
melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat
timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak
untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk
melakukan perbuatan. [4]
Culpa
Salah satu
bentuk dari kesalahan adalah culpa, menurut Wirjono Prodjodikoro arti kata dari
culpa adalah :
“Kesalahan pada umumnya, tetapi
dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan
si pelaku tindak pidana yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati, sehingga akibat yang tidak di sengaja terjadi”. [5]
Mengenal kealpaan itu, Moeljatno
menguntip dari Scmidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentu WvS
sebagai berikut :
Pada umumnya
bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan
pada perbuatan dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang
itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau
barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus
bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan
pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan
tersebut, dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang,
tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga
menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan
itu.
Terkait
dengan pendapat yang diutarakan tersebut, Moeljatno berkesimpulan bahwa
kesengajaan berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu
adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan
bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, akan tetapi bentuk dari
kesengajaan berbeda dengan kealpaan. Kesengajaan adalam mengenai sikap batin
orang menentang larangan. Sedangkan kealpaan adalah sikap kurang mengindahkan
T willen & wetten
Dalam bahasa
Belanda kesengajaan disebut “ Obzet “.
Dalam bahasa Inggris sengaja disamakan artinya dengan “ Intention” . KUHP tidak merumuskan apa yang
dimaksud dengan “ Opzet “, akan tetapi
memorie van Teolichting ( MvT)mencatat
bahwa yang dimaksud dengan “ Opzet “ adalah “
menghendakai dan menginsyafi’ terjadinya suatu tindakan beserta
akibatnya ( Wilena En Wetens Veroorzaken Van Een Gevolg )” .
Pengertian
menurut (MvT) ini dilihat dari sifat kesengajaan dikategorikan sebagai dolus
manus. Dimana apabila seseorang melakukan sesuatu tindak pidana dapat diartikan
bahwa ia tidak saja hanya menghendaki (
willen ) dilakukannya tindakan tersebut,
tapi juga ia menginsyafi/ mengetahui ( wetten ) bahwa tindakannya itu dilarang
oleh Undang-Undang dan diancam dengan pidana.
Akan tetapi Van
Hattum tidak setuju dengan penjelasan menurut ( MvT ) yang menyamakan dengan “
Willen” dengan “Wetten” tersebut. Menurut beliau pemahaman “Willen”
dan “Wetten” tidak sejajar kedudukannya, sehingga “ dengan sengaja ” belum
tentu meliputi juga “ mengetahui/ menginsyafi” bahwa tindakannya itu adalah
suatu pelanggaran hukum . Seseorang yang
hendak ( Willen ) berbuat sesuatu belum
tentu menghendaki juga akibat yang timbuldari perbuatan tersebut.
Dalam arti, ia belum tentu mengetahui bahwa
perbuatannya itu adalah suatu pelanggaran hukum yang karena akibat yang
ditimbulkannya dapat diancam pidana
Corak kesengajaan
Isitilah
sengaja/dolus/opzet dalam KUHP dapat kita temui dalam beberapa pasal dengan
penggunaan istilah yang berbeda namun makna yang terkandung adalah sama yaitu
sengaja/dolus/opzet. Beberapa pasal tersebut antara lain ;
1. Pasal 338
KUHP menggunakan istilah “dengan sengaja”
2. Pasal 164
KUHP menggunakan istilah “mengetahui tentang”
3. Pasal
362,378,263 KUHP menggunakan istilah “dengan maksud”
4. Pasal 53 KUHP
menggunakan istilah “niat”
5. Pasal 340 dan
355 KUHP menggunakan istilah “dengan rencana lebih dahulu”
Sedangkan
mengenai bentuk atau corak kesengajaan itu sendiri ada tiga yaitu ;
1. Kesengajaan
sebagai maksud/tujuan (dolus als oogmerk atau opset als oogmerk)
- apabila
pembuat menghendaki akibat perbuatannya
- untuk mencapai
suatu tujuan yang dekat (dolus directus)
- terdapat hubungan
langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian
- tidak
dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak
terjadi/tercapai
- contoh : A
menghendaki matinya B dengan tangannya sendiri maka A mencekik B hingga mati
2. Kesengajaan
sebagai kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau
noodzakelijkheidbewustzijn)
- kondisi jiwa
tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu
yang tidak dikehendaki itu akan terjadi
- misalnya si
terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau
dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi
- contoh lain
adalah kasus peledakan kapal Thomas van Bremerhaven untuk mendapatkan uang
asuransi, namun akibat peledakan itu awak kapal mati. Meskipun kematian ini
tidak diinginkan, namun siapapun pasti tahu kalo akibat ledakan seseorang akan
mati
3. Kesengajaan
sebagai kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet)
- kondisi jiwa
tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika
itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan
terjadi
- misalnya
terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia
menyadari bila sebilah pedang ditebaskan pada bagian badan manusia akan
menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si
korban akan kehabisan darah, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi
bila pedang itu mengandung racun.
- contoh lain
adalah kasus pengiriman kue tart beracun di kota Hoorn pada tahun 1911 untuk
membunuh musuhnya. Meski akhirnya yang meninggal adalah bukan musuh yang
dimaksud namun istrinya tapi terdakwa sudah memperkirakan kemungkinan akan ada
korban lain yakni istri atau siapapun yang memakan kue taart beracun tersebut.
Dalam
dolus eventualis dikenal teori “apa boleh buat” (iknkauf nehmen) yakni untuk
mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan disamping
maksudnya itupun diterima karena kalau resiko yang diketahui kemungkinan akan
adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping hal yang dimaksud), apa boleh
buat, dia juga berani pikul resiko (Teori Prof.Moeljatno, SH)
Sengaja Berwarna Dan
Tidak Berwarna
Kesenggajaan
memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd)
Sifat
kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup
pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus
ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan.
Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk
berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan
perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara
lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa:
“Kesengajaan senantiasa
ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan
tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.”
Untuk
adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran,
bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana.
2). Kesengajaan
tidak berwarna (kleurloos)
Kalau
dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk
adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang
dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan
hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak
mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Di
Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia
menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).
Sumber
S.R.
Sianturi, Asas-asas Pidana Di Indonesia
dan Penerapanya , (Jakarta; Alumni Ahaem-Petehaem, 1996)
Bambang Poernomo, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia.
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, (PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta).
[2]
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran
Hukum Pidana I, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Adami Chazawi I), h.96.
[3]
Ibid, h.97
[4]
Ibid, h.98
[5]
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco
Jakarta, Bandung (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro I), h.61.
Komentar
Posting Komentar