TEORI KAUSALITAS DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. TEORI KAUSALITAS DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Teori
Kausalitas
Ajaran kausalitas adalah ajaran yang mempermasalahkan hingga
seberapa jauh suatu tindakan itu dapat
dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan, atau hingga berapa jauh suatu
keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari suatu tindakan, dan
sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
Perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil
mempunyai hubungan yang erat dengan hubungan sebab akibat atau ajaran
kausalitas dalam tindak pidana, terutama pada tindak pidana materiil. Untuk
menentukan (dalam praktik digunakan
istilah untuk membuktikan) terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat,
tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah
benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku akan mendapat kesukaran,
berhubung seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak
faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam penentuan pertanggung jawaban pidana, mencari dan menetapkan faktor
yang menyebabkan kematian, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran kausalitas
akan menunjukkan perbuatan mana sebenarnya yang harus dianggap sebagai penyebab
dari timbulnya akibat.
Bahwa ajaran kausalitas selain
penting dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara
wujud perbuatan dan akibat dalam indak pidana materiil, juga penting dalam hal
mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan
akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak
pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk
pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan satu unsur khusus yakni unsur
akibat yang timbul dari perbuatan, baik
unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun menjadi lebih
ringan.
Ada beberapa
macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori yang besar,
yaitu: 1) teori conditio sine qua non, 2) teori-teori yang mengindividualisir
(individualiserede theorien), dan 3)teori-teori yang menggeneralisir (
genaraliserende theorien).
a. Teori Conditio Sine Qua Non
`Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, seorang
ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht
(Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hukum ialah (l) Uber Kausalitat und deren Verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ibre strafrechtliche Beziebungen.
Menurut Von Buri, bahwa semua
faktor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang
tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht ) dari rangkaian faktor-faktor yang
bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor yang dapat
dihilangkan (weggedacht ) dari rangkaian faktor-faktor yang adanya tidak perlu
untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidakdiberi nilai. Sebaliknya, tiap
faktor yang tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht ) dari rangkaian
faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua faktor itu adalah sama dan
sederajat. Karena adanya faktor-faktor yang tidak dapat dihilangkan itu perlu
untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, maka teori Von Buri disebut dengan
teori conditio sine quanon .
Teori conditio sine qua non juga
dinamakan teori ekuivalensi dan bedingungtheorie . Disebut teori ekuivalensi,
karena menurut pendiriannya, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya. Semua
faktor sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut bedigungtheorie
, karena baginya tidak ada perbedaan
antara syarat (bedingung ) dan musabab atau penyebab.
Secara teoretis teori conditio
sine qua non yang dikemukakan oleh Von
Buri merupakan satu-satunya teori kausalitas yang sangat sistematis dan
rasional. Logika yang dibangun Buri dalam mencari penyebab dari timbulnya suatu
akibat sangat rasional, sistematis, dan logis. Sekalipun demikian, di dalam
perspektif hukum pidana teori ini mengandung kelemahan yang sangat mendasar,
karena dengan dalil yang dibangunnya itu, hubungan kausalitas terbentang tanpa
akhir, mengingat tiap-tiap sebab hakikatnya merupakan akibat dari sebab yang
terjadi sebelumnya.
Kelemahan mendasar lain teori ini
adalah memperluas pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Teori ini jika
digunakan akan berimplikasi pada kemungkinan terjadinya pemidanaan terhadap
orang-orang yang seharusnya tidak boleh
dipidana baik berdasarkan rasa keadilan maupun berdasarkan konsep hukum pidana.
Sebab, orang baru bisa dijatuhi sanksi pidana jika memenuhi dua syarat pokok,
yaitu orang tersebut melakukan tindak pidana, dan pada saat melakukannya orang
tersebut merupakan orang yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dalam
arti patut dicela atau memiliki kesalahan.
Untuk mengatasi kelemahan Von Buri ini, maka Van Hamel salah seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan
menambahkan ajaran kesalahan ke dalam ajaran Von Buri. Menurut van Hamel ajaran
von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah dilengkapi lagi dengan ajaran tentang
kesalahan ( schuldleer ). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi
salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang
melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas timbulnya akibat itu,
melainkan apabila pada diri si
pembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur
kesalahan baik kesengajaan maupun
kealpaan.
b. Teori Yang Mengindividualisir
Teori ini dikemukakan oleh Schepper. Secara garis besar terdapat dua hal
yang menjadi inti dari teori mengindividualisir.
Pertama, membicarakan masalah
kausalitas harus dipisahkan dengan membicarakan masalah pertanggungjawaban pidana. Sebab, persoalan kausalitas adalah bagian
dari masalah perbuatan pidana Pentingnya pemisahan tersebut agar tidak terjadi
kerancuan dalam kesimpulan hukum. Apabila tidak dipisahkan, kerancuan tersebut
dikhawatirkan dapat berimplikasi pada
terjadinya pemidanaan terhadap orang yang seharusnya tidak boleh dipidana.
Kedua, menurut Schepper, sebab
adalah kelakuan yang menurut logika objektif atau berdasarkan ilmu pengetahuan
pada saat kasus terjadi, dapat simpulkan bahwa kelakuan itulah yang mengadakan
faktor perubahan secara langsung menuju pada suatu keadaan berupa terjadinya
akibat yang dilarang hukuum.
Teori yang mengindividualisir
ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor
penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor
yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara
konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di
antara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya
merupakan faktor penyebab. Faktor
penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau
dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat,
sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan
faktor penyebab. Pendukung teori yang mengindividualisir ini antara lain
Birkmeyer dan Kari Binding.
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang
mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua
hal, yaitu:
1)dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh
yang paling kuat, dan
2)dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu
dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul. Oleh karena terdapat
kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli
hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah teori-teori
yang menggeneralisir.
c. Teori Yang Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa)
dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat
adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan
menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.
Jadi mencari faktor penyebab dan
menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta
akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran
manusia atau disebut secara abstracto,
tidak secara inconcreto.
1) Teori Adequat Subjektif Teori ini dipelopori oleh J. Von Kries, yang
berpendapat bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang
berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat
diterima, yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat.
Faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal
adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor
mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan
akibat tersebut.
Jadi dalam teori ini faktor
subjektif atau sikap batin sebelum si
pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan
kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan
dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan
kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.
Oleh karena ajaran von Kries dalam mencari faktor penyebab itu adalah
pada dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan
teori subjective prognose (peramalan subjektif).
2). Teori Adequat Objektif
Berbeda dengan teori dari von
Kries yang dalam hal mencari faktor penyebab itu pada kesadaran si pembuat
bahwa pada kejadian normal pada umumnya faktor itu layak atau sebanding untuk
menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan
bagaimana sikap batin si pembuat sebelum
berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah (post factum)
peristiwa senyatanya beserta
akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor
itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia
berbuat tidaklah penting, melainkan
bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta
akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk
menimbulkan akibat.
Teori ini dipelopori Rumelin yang
ajarannya disebut dengan teori obyectif
nachtragliche prognose atau peramalan
yang objektif, karena dalam mencari causa dari suatu akibat pada faktor
objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat. Teori Rumelin mengajarkan
bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor objektif yang diramalkan
dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah
delik terjadi.
Tolak ukur teori tersebut bukan
ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi akibat itu walau
bagaimana pun harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan
obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik. Tolok ukur tersebut
merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang objektif.
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat
tertentu pada seorang pasien, diberikan
juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada
pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan
memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena
meminum obat yang telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat
matinya pasien.
Menurut ajaran von Kries (adequat
subjektif ), karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui
perihal dimasukkannya racun pada obat yang dapat menimbulkan kematian jika
diminum, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian
pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian tidak ada hubungan kausal
atau hubungan sebab-akibat. Lain halnya apabila dipandang dari teori Rumelin
(adequat objektif). Karena perbuatan
orang lain memasukkan racun ke dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab
matinya, walaupun tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat
meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya, karena
itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien
2.
Pertanggung
jawaban Pidana
Dalam
bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai „‟toerekenbaarheid‟‟,
„’criminal responbility‟‟, „’criminal liability‟‟. Bahwa pertanggungjawaban
pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.
Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia
dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan
hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya
tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan
tersebut.
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu
perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si
pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan
perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela
ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya
tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak
dipidana.
Menurut
Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa:
“Dalam
pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah
melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia
dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila
orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka
tentu dia akan dipidana”.
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik
dan unsur pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III,
sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur
keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik, oleh
karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat
dibuktikan juga dalam persidangan.
a. Indetermnisme Vs Determinisme
Berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana itu, ada dua aliran yang selama ini dianut, yaitu
aliran indeterminisme dan aliran determinisme. Kedua aliran tersebut
membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya
kesalahan.
- Kaum
indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya berpendapat,
bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala
keputusan kehendak.
Tanpa ada
kebebasan kehendak maka tidak ada
kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga
tidak ada pemidanaan.
- aum
determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak
mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh
watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama
lain) dan motif-motif, ialah perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari
luar yang mengakibatkan watak tersebut. ini berarti bahwa seseorang tidak
dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab
ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya
kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan
tindak pidana tidak
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
b.
Kemampuan Bertanggung Jawab Pidana
Dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan
bahwa unsur mampu bertanggung jawab mencakup:
a. Keadaan jiwanya:
1. Tidak
terganggu oleh penyakit
terus-menerus atau sementara (temporair);
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya), dan
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang
meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, menganggu
karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia
dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut,
apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R.
Sianturi menjelaskan bahwa:
Kemampuan
bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa”(geestelijke
vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir”(verstanddelijke
ermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam
Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke vermogens.
untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan istilah
“keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”
Menurut
Ruslan Saleh , tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas
perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum,
maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada
kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsurunsur
kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga
untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa
haruslah :
a)
Melakukan perbuatan pidana;
b)
Mampu bertanggung jawab;
c)
Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan
d)
Tidak adanya alasan pemaaf.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika ke
empat unsur tersebut diatas ada maka
orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat
dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana. Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan
dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tidak pidana dengan kesalahan.
Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3
(tiga)
yaitu:
1)
Kemampuan bertanggungjawab;
2)
Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa);
3)
Tidak ada alasan pemaaf.
Menurut
Mulyatno (dalam Tri Andrisman)15 unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
adalah:
1.
Kesalahan;
2.
Kemampuan bertanggungjawab;
3.
Tidak ada alasan pemaaf.
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara
perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
(faktor akal)
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor
perasaan/kehendak).
Tegasnya
bahwa, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan pertanggungjawaban orang
terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Dimana masyarakat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu
yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Sebagai
konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan
perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya
pembuat dapat berbuat lain. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan
suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Daftar
Pustaka
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet. III (Jakarta: Rajawali
Press, 2012)
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2 , Cet. II (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2005)
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. II (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012)
C.S.T Kansil, Latihan Ujian: Hukum Pidana, Cet. III
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VII (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002)
H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana 1 , Cet. II (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007)
Roeslan
Saleh. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Komentar
Posting Komentar